PJOK
BUKANLAH CBSA
Oleh : Irvan Kristivan, M.Pd.
Penjas
Orkes adalah sebuah akronim dari Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan
(PJOK). Pendidikan jasmani itu sendiri dapat diartikan sebagai proses
pendidikan via aktivitas jasmani dan/atau cabang olahraga yang terpilih dengan
maksud untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuan yang ingin dicapai bersipat
menyeluruh, mencakup aspek fisikal, intelektual, emosional, sosial dan moral.
(Rusli Lutan,1997).
Berdasarkan definisi
tersebut, peranan PJOK di sekolah sangatlah penting dalam membina siswanya agar
senantiasa segar bugar sehingga dapat melaksanakan tugas belajarnya dengan
tekun, semangat, dan tanpa merasa kelelahan yang berlebih. Itulah sebabnya
pemerintah menjadikan PJOK sebagai bidang studi yang wajib di tingkat SD, SMP,
SMA.
Paradigma yang
berkembang di masyarakat sampai saat ini adalah adanya anggapan bahwa guru yang
paling “enak” adalah guru PJOK karena dalam pemahaman mereka mengajar PJOK itu
mudah dan santai. Tidak perlu berpikir dan ilmu pengetahuan. Cukup acungkan
telunjuk dan tiup peluit dengan keras, maka siswa akan berlari mengelilingi
lapangan sementara gurunya bisa duduk dengan santai di bawah pohon sambil
merokok, baca koran, atau minum kopi. Cara mengajar seperti itu guru kelas pun
bisa, bahkan seorang tukang becak pun bisa. Orang sunda sendiri sering
menjadikannya guyonan dengan plesetan CBSA “Cul
Budak Sina Anteng” yang artinya biarkan saja anak senang bermain.
Sepintas mengajar PJOK
itu memanglah mudah. Namun, dibalik semua itu justru tanggung jawab guru PJOK
sangatlah berat bahkan lebih berat dibandingkan dengan guru lainnya. Pembelajaran
PJOK sangatlah beresiko terhadap keselamatan. Jika siswa salah dalam
melaksanakan tugas yang diberikan guru, maka akan mengakibatkan terjadinya
cedera otot, patah tulang, rusak syaraf sensorik, atau bahkan kematian. Sedikit
saja siswa salah dalam melakukan gerakan senam, maka tangan, leher, atau
anggota badan lainnya akan cedera. Sekejap saja guru lalai dalam pembelajaran
renang, maka bahaya kematian itu sangat dekat karena kematian di kolam renang
hitungannya bukan menit lagi melainkan detik. Sedikit sekali orang yang dapat
menahan nafas lebih dari satu menit di dalam air. Berbeda dengan guru kelas.
Jika siswanya salah dalam melaksanakan tugas, dia cukup mencoret yang salah dan
memberi nilai jelek. Apabila salah 1 nilainya 9, salah 2 nilainya 8, salah 3
nilainya 7, dan begitu seterusnya. Kesalahan, kebodohan, kecerobohan yang
dilakukan siswa dalam mata pelajaran lain tidak mengakibatkan terancam
keselamatannya.
Untuk
mencegah/memperkecil kemungkinan terjadinya hal itu, maka guru PJOK sudah
dibekali dengan dedaktik metodik mengajar, anatomi manusia, ilmu faal,
perkembangan motorik, pencegahan dan perawatan cedera, dan ilmu-ilmu lainnya
yang tidak dipelajari oleh guru lain. Seorang guru PJOK dituntut untuk paham betul berbagai macam cedera yang mungkin
terjadi saat berolahraga, seperti : Tendinitis
yang disebabkan overuse syndrome, strain
akibat overuse syndrome starin, over
stretch dan over stress, Sprain
atau cedera pada ligament, dll. Dalam
pendidikan olahraga hal itu dipelajari seperti halnya dalam dunia kedokteran.
Hanya saja dipelajarinya sebatas pada pencegahan dan perawatan cedera, tidak
sedetail kedokteran.
Dewasa ini, pemerintah
sedang gencar-gencarnya dengan menggembor-gemborkan pendidikan berkarakter.
Dimana pendidikan karakter tersebut harus diterapkan dalam setiap pembelajaran
di sekolah. Jauh sebelum itu, justru guru PJOK telah menerapkan pendidikan
berkarakter. Dalam setiap pembelajaran PJOK selalu menerapkan nilai-nilai Disiplin (Discipline),
Tekun (diligence),
Tanggung jawab (responsibility),
Ketelitian (carefulness),
Kerja sama (Cooperation), Toleransi
(Tolerance), Percaya diri (Confidence), dan
Keberanian (Bravery). Nilai-nilai
tersebut secara langsung di implementasikan dalam praktek berupa sangsi dan
tindakan. Sebagai contoh kita lihat pada saat bermain sepak bola. Dalam
sepak bola setiap siswa dituntut percaya diri memainkan bola melewati
lawan-lawannya, namun dia juga di tuntut untuk tidak egois melainkan harus
bekerjasama dengan siswa lainnya. Sebagus apapun bermain bola kalau mainnya
sendiri pasti akan kalah. Jika salah seorang siswa melakukan kecurangan yang
merugikan lawannya, maka ia kan dikenakan sangsi berupa finalti atau tendangan
bebas. Disinilah diterapkan toleransi, saling menghargai, menjaga keselamatan,
dan tanggung jawab. setiap perbuatan ada konsekuensinya masing-masing. Sebagai
contoh yang lain kita lihat ketika bola keluar lapangan. Setiap siswa pasti
sudah tahu bahwa itu Trow in untuk lawan, artinya jika salah seorang keluar
dari aturan maka harus segera kembali lagi keaturan jangan sampai terus-menerus
terjerumus dalam kemungkaran atau kemaksiatan. Nilai-nilai yang diterapkan
dalam pembelajaran PJOK sering disebut dengan istilah Sportif atau Fair Play.
Dari uraian di atas,
dapat ditarik benang merahnya bahwa mengajar PJOK tidaklah semudah yang
dikatakan orang-orang. Dalam setiap aktivitas jasmani yang diintruksikan
seorang guru PJOK terselip tujuan yang sangat mendalam sebagai inti dari
pendidikan yang harus dikuasai, dipahami, dan diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari oleh siswa. Adapun tujuan murni pendidikan jasmani adalah
meningkatkan perkembangan fisik, perkembangan neuromuscular, perkembangan kognitif
dan perekembangan sosial. Maka dari itu, guru PJOK harus benar-benar seorang
professional yang ahli di bidangnya.
Tentang Penulis
Irvan
Kristivan, M.Pd. Bekerja sebagai guru PJOK di SDN Sukamulya
Kecamatan Bungursari Kota Tasikmalaya. Sarjana Lulusan FPOK-UPI Bandung Tahun
2008. Megister lulusan Program Pascasarjana UNIGAL Ciamis Tahun 2013.
Terbit di Duta Priangan Edisi 108 (16-31 Juli 2014) hal. 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar