Minggu, 16 April 2017

GURU BUKAN PEKERJA RODI



GURU BUKAN PEKERJA RODI
Oleh : Irvan Kristivan, M.Pd.

“Peningkatan kinerja guru”. Istilah itulah yang sedang gencar-gencarnya disosialisasikan kepada gurumelalui diklet, workshop, seminar, dan lain sebagainya. Perlu di garis bawahi kata "kinerja". Sepintas terdengar sangat "wah" dan baik dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Namun, jika ditelaah lebih dalam kata "kinerja" disana bisa menjadi kendala tidak tercapainya mutu pendidikan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata Kinerja dapat diartikan sebagai “sesuatu yang dicapai; prestasi yang diperlihatkan; kemampuan kerja”. Dengan demikian peningkatan kinerja yang dimaksud dapat bermakna ambigu apakah peningkatan kinerja dalam arti peningkatan kinerja dalam arti peningkatan kualitas kerja guru (pencapaian dan prestasi) atau semakin bertambahnya beban kerja dan tugas kerja guru (kemampuan kerja).
Pertama. Jika peningkatan kinerja yang dimaksud adalah semakin bertambahnya beban kerja dan tugas kerja guru, sama dengan menjadikan guru sebagai "Pekerja Rodi". Dalam penjajahan Belanda warga Indonesia dipaksa untuk bekerja siang-malam tanpa adanya belas kasihan demi terlaksananya program pengurasan harta kekayaan Indonesia dengan membangun benteng-benteng dan jalan-jalan dengan upah yang sedikit. Para pekerja tersebut dikenal dengan istilah "Kerja Rodi". Hal itu memang tidak dipungkiri terjadi pada guru. Beban dan tugas guru semakin menumpuk, sementara gaji masih dibawah rata-rata pekerja lain. Apa lagi di SD yang notabene tidak ada staf tata usaha, guru harus merangkap sebagai bendahara dan mengerjakan LPJ BOS yang sedemikian rupa jelimetnya, juga merangkap sebagai operator yang tak henti-hentinya di cekoki dengan tugas meng-update data mulai dari padamu negeri, dapodik dan sekarang PUPNS yang dalam kenyataannya seringkali sistem error sehingga harus berulang-ulang bahkan sering kali sampai larut malam. Sudah barang tentu guru yang sudah terkuras habis tenaganya karena bergadang, tidak akan optimal dalam memberikan pelayanannya sebagai guru kepada peserta didik. Belum lagi dibebani dengan administrasi guru yang sebegitu banyaknya. Jika administrasi guru mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi Ada 10 item dan setiap item dikerjakan dengan waktu 15 menit maka 150 menit atau 2,5 jam tersita dari tugasnya mengajar. Sementara rata-rata guru mengajar setiap harinya 7-8 jam. Berarti waktu efektif di sekolah hanya 4,5 jam. Bagaimana kalau lebih banyak dari 10 item, tentu akan semakin banyak waktu tersita ketika pembelajaran. Maka tak heran jika ketika mengajar ada guru yang asyik mengerjakan administrasi guru sementaara peserta didik sibuk menulis atau mengerjakan tugas. Dalam waktu yang sedikit itu guru dituntut untuk dapat memberikan bimbingan, remedial, dan lain sebagainya guna meningkatkan prestasi peserta didik dan mutu pendidikan. Bahkan yang disekolahnya memiliki sedikit peserta didik hingga membuat guru kekurangan jam mengajar, dia harus memenuhi target 24 jam pelajaran dengan mengajar di sekolah lain. Apa mungkin dia bisa fokus meningkatkan kualitas pendidikan peserta didiknya jika pikirannya terbagi dua dengan peserta didik di sekolah lain ?.
Tidak hanya sampai disana. Untuk sekedar mandapatkan kesetaraan gaji dengan pekerja lain melalui tunjangan sertifikasi saja, sering kali tersendak baik karena administrasi yang tidak lengkap, data di dapodik yang tidak valid, bahkan karena tidak mengajar beberapa hari. Lebih ironis guru yang terkena musibah kecelakaan sehingga dia tidak bisa mengajar lebih dari 3 hari, maka dia tidak akan menerima tunjangan sertifikasi pada bulan tersebut. berarti guru tidak boleh izin apalagi sakit. Guru juga manusia bukan robot yang tidak pernah sakit.
Kedua. Jika peningkatan kinerja dalam arti peningkatan kualitas kerja guru, maka penekanannya adalah pada proses belajar mengajar (PBM). Bagaimana seorang guru mengajar dengan baik, menyenangkan, lugas, tegas, dan materi yang disampaikan mudah dipahami oleh peserta didik. Bagaimana pembelajaran itu lebih mudah terserap oleh peserta didik baik dari ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor agar peserta didik menjadi insan yang cerdas, terampil dan berakhlak mulia sesuai dengan amanat UU No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS. Pendidikan yang bermutu yang benar-benar diharapkan akan tercapai jika "kualitas kerja" guru baik dan kualitas kerja guru akan semakin baik jika guru lebih fokus pada pencapaian tujuan pendidikan dan benar-benar berkompeten dalam bidangnya baik secara keilmuan, pengalaman, maupun secara real praktek dalam PBM.
Dengan demikian perlu adanya penekanan  yang lebih spesifik dalam istilah "peningkatan kinerja guru", yaitu pada "peningkatan kualitas kerja guru" bukan pada “peningkatan kuantitas kerja guru”; agar guru tidak dirugikan oleh pihak-pihak yang tidak paham betul dengan istilah tersebut. Juga perlu adanya main set yang sama antara guru, kepala sekolah, pengawas, dan pihak-pihak terkait bahwa yang paling penting dalam menanggapi kinerja guru adalah "kualitas kerja” bukan "kuantitas kerja”. Tentu saja kualitas kerja disana adalah kerja yang konsisten dan komitmen pada tupoksi sebagai guru profesional.

Terbit di HU Kabar Priangan, Rabu 3 Pebruari 2016 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SGFA : BERLATIH BERSAMA COACH BONGSU HASIBUAN

SGFA : BERLATIH BERSAMA COACH BONGSU HASIBUAN FUTSAL adalah cabang olahraga yang menjadi trend remaja masa kini. Pelajar SD, SMP, SMA, Hin...