GURU BUKAN PEKERJA RODI
Oleh : Irvan Kristivan, M.Pd.
“Peningkatan kinerja guru”. Istilah
itulah yang sedang gencar-gencarnya disosialisasikan kepada gurumelalui diklet,
workshop, seminar, dan lain sebagainya. Perlu di garis bawahi kata "kinerja".
Sepintas terdengar sangat "wah" dan baik dalam peningkatan mutu
pendidikan di Indonesia. Namun, jika ditelaah lebih dalam kata
"kinerja" disana bisa menjadi kendala tidak tercapainya mutu
pendidikan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata Kinerja dapat diartikan
sebagai “sesuatu yang dicapai; prestasi yang diperlihatkan; kemampuan kerja”. Dengan
demikian peningkatan kinerja yang dimaksud dapat bermakna ambigu apakah
peningkatan kinerja dalam arti peningkatan kinerja dalam arti peningkatan
kualitas kerja guru (pencapaian dan prestasi) atau semakin bertambahnya beban
kerja dan tugas kerja guru (kemampuan kerja).
Pertama. Jika peningkatan kinerja yang
dimaksud adalah semakin bertambahnya beban kerja dan tugas kerja guru, sama
dengan menjadikan guru sebagai "Pekerja Rodi". Dalam penjajahan Belanda
warga Indonesia dipaksa untuk bekerja siang-malam tanpa adanya belas kasihan
demi terlaksananya program pengurasan harta kekayaan Indonesia dengan membangun
benteng-benteng dan jalan-jalan dengan upah yang sedikit. Para pekerja tersebut
dikenal dengan istilah "Kerja Rodi". Hal itu memang tidak dipungkiri
terjadi pada guru. Beban dan tugas guru semakin menumpuk, sementara gaji masih
dibawah rata-rata pekerja lain. Apa lagi di SD yang notabene tidak ada staf tata usaha, guru harus merangkap sebagai
bendahara dan mengerjakan LPJ BOS yang sedemikian rupa jelimetnya, juga
merangkap sebagai operator yang tak henti-hentinya di cekoki dengan tugas meng-update
data mulai dari padamu negeri, dapodik dan sekarang PUPNS yang dalam
kenyataannya seringkali sistem error
sehingga harus berulang-ulang bahkan sering kali sampai larut malam. Sudah barang tentu guru yang sudah
terkuras habis tenaganya karena bergadang, tidak akan optimal dalam memberikan
pelayanannya sebagai guru kepada peserta didik. Belum lagi dibebani dengan
administrasi guru yang sebegitu banyaknya. Jika administrasi guru mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi Ada 10 item dan setiap item
dikerjakan dengan waktu 15 menit maka 150 menit atau 2,5 jam tersita dari tugasnya
mengajar. Sementara rata-rata guru mengajar setiap harinya 7-8 jam. Berarti
waktu efektif di sekolah hanya 4,5 jam. Bagaimana kalau lebih banyak dari 10
item, tentu akan semakin banyak waktu tersita ketika pembelajaran. Maka tak
heran jika ketika mengajar ada guru yang asyik mengerjakan administrasi guru
sementaara peserta didik sibuk menulis atau mengerjakan tugas. Dalam waktu yang
sedikit itu guru dituntut untuk dapat memberikan bimbingan, remedial, dan lain
sebagainya guna meningkatkan prestasi peserta didik dan mutu pendidikan. Bahkan
yang disekolahnya memiliki sedikit peserta didik hingga membuat guru kekurangan
jam mengajar, dia harus memenuhi target 24 jam pelajaran dengan mengajar di
sekolah lain. Apa mungkin dia bisa fokus meningkatkan kualitas pendidikan
peserta didiknya jika pikirannya terbagi dua dengan peserta didik di sekolah
lain ?.
Tidak hanya sampai disana. Untuk sekedar mandapatkan
kesetaraan gaji dengan pekerja lain melalui tunjangan sertifikasi saja, sering kali
tersendak baik karena administrasi yang tidak lengkap, data di dapodik yang tidak
valid, bahkan karena tidak mengajar
beberapa hari. Lebih ironis guru yang terkena musibah kecelakaan sehingga dia
tidak bisa mengajar lebih dari 3 hari, maka dia tidak akan menerima tunjangan
sertifikasi pada bulan tersebut. berarti guru tidak boleh izin apalagi sakit. Guru
juga manusia bukan robot yang tidak pernah sakit.
Kedua. Jika peningkatan kinerja dalam arti
peningkatan kualitas kerja guru, maka penekanannya adalah pada proses belajar
mengajar (PBM). Bagaimana seorang guru mengajar dengan baik, menyenangkan,
lugas, tegas, dan materi yang disampaikan mudah dipahami oleh peserta didik.
Bagaimana pembelajaran itu lebih mudah terserap oleh peserta didik baik dari
ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor agar peserta didik menjadi insan yang
cerdas, terampil dan berakhlak mulia sesuai dengan amanat UU No. 20 tahun 2003
tentang SISDIKNAS. Pendidikan yang bermutu yang benar-benar diharapkan akan
tercapai jika "kualitas kerja" guru baik dan kualitas kerja guru akan
semakin baik jika guru lebih fokus pada pencapaian tujuan pendidikan dan
benar-benar berkompeten dalam bidangnya baik secara keilmuan, pengalaman,
maupun secara real praktek dalam PBM.
Dengan demikian perlu adanya penekanan yang lebih spesifik
dalam istilah "peningkatan kinerja guru", yaitu pada
"peningkatan kualitas kerja guru" bukan pada “peningkatan kuantitas
kerja guru”; agar guru tidak dirugikan oleh pihak-pihak yang tidak paham betul
dengan istilah tersebut. Juga perlu adanya main
set yang sama antara guru, kepala sekolah, pengawas, dan pihak-pihak
terkait bahwa yang paling penting dalam menanggapi kinerja guru adalah
"kualitas kerja” bukan "kuantitas kerja”. Tentu saja kualitas kerja
disana adalah kerja yang konsisten dan
komitmen pada tupoksi sebagai guru
profesional.
Terbit di HU Kabar Priangan, Rabu 3 Pebruari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar