Jumat, 21 April 2017

GENERASI KARTINI MASAGI

GENERASI KARTINI MASAGI


Hari ini jum'at tanggal 21 April 2017 bertepatan dengan peringatan kartini, Viska, Lidya, dan Salma pergi ke rumah guru naik sepeda. Tidak ada acara yang spesial, mereka hanya bersilaturahmi. "Seru sekali bisa main dan mengasuh de zahran yang super aktiv" ungkap Viska-Lidya-Salma. Meskipun jaraknya cukup jauh lebih dari 1 Km, mereka tampak semangat. Ini adalah kesekian kalinya mereka berkunjung. 


Ada nilai dan kesan yang lebih selain silaturahmi. Mereka bermain sambil belajar. Berbeda dengan di sekolah, pada saat berkunjung di rumah guru mereka lebih berani untuk bertanya dan mengeksplor ide-ide. Keinginan, harapan, dan gagasan yang tidak berani dicurahkan saat pembelajaran di sekolah, meluap. Mereka lebih leluasa berekspresi.


Tidak hanya itu. Mereka-pun senang melihat dan membaca koleksi buku-buku gurunya. Mereka tampak senang memilih-milih buku di rak buku dinding. Biasanya di sekolah, mereka lebih senang berolahraga ketimbang baca buku di perpustakaan. Sisi lain dari mereka bertiga terlihat jelas ketika berada di rumah guru seharian.


Mereka adalah generasi kartini yang luar biasa. Tak lelah berguru mencari ilmu. Bermain, silaturahmi, belajar, mencari ilmu dalam satu waktu. Banyak hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik. Membuka pintu rumah lebar-lebar untuk murid-murid, menjadi media untuk lebih memahami mereka.






Selasa, 18 April 2017

BUKAN SEKEDAR FUTSAL



BUKAN SEKEDAR FUTSAL
Oleh : Irvan Kristivan, M.Pd.

Futsal. Cabang olahraga (Cabor) yang sangat populer saat ini terutama di Kota Tasikmalaya. Hampir setiap hari Stadium futsal di Kota Tasikmalaya tidak pernah sepi. Hampir setiap bulan pertandingan futsal di gelar. Hampir di setiap Kecamatan terdapat Stadium Futsal. Memang beberapa tahun belakangan Kota Tasikmalaya sedang dilanda demam futsal.
Permainan yang merupakan adopsi dari sepak bola ini menjadi magnet yang sangat kuat bagi suluruh lapisan masyarakat. Club-club futsal bermunculan. Begitupun Ekskul futsal di sekolah menjadi pilihan paforit para pelajar. Baik SMA, SMP, bahkan SD. Terjadi peralihan mineset dikalangan pelajar, bukan lagi tertuju kepada sepak bola melainkan beralih kepada futsal. Semakin minimnya minat pelajar terhadap sepakbola terlihat pada pelaksanaan Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) tahun 2016. Pada tingkat SMA Cabor Futsal diikuti oleh 20 sekolah sedangkan sepakbola hanya 13 sekolah. Begitupun pada tingkat SMP cabor futsal diikuti oleh 45 sekolah sedangkan cabor sepak bola hanya diikuti oleh 13 sekolah.
Mengapa hal itu terjadi ? jawabannya sederhana karena futsal memiliki banyak keunggulan. Futsal dapat dimainkan dalam cuaca apapun karena di dalam ruangan. Pemain futsal lebih sedikit sehingga mudah untuk dikondisikan. Lapangan yang kecil lebih memberikan tantangan untuk lebih menguasai bola dengan baik. Pergerakan bola lebih cepat sehingga tidak ada waktu untuk berleha-leha. Gol lebih cepat terjadi sehingga dalam hitungan menit-pun dapat tercetak beberapa GOL. Menuntut pemainnya untuk bergerak, bertindak, dan mengambil keputusan lebih cepat.
Bukan hanya hal yang sifatnya tehnikal dan taktikal saja yang menjadi alasan guru Penjas untuk mengembangkan ekskul futsal di sekolah, melainkan ada nilai-nilai luhur yang ingin disampaikan kepada siswa sebagai wujud dari pencapaian tujuan pendidikan. Nilai-nilai tersebut diantaranya : Disiplin (Discipline ), Tekun (diligence), Tanggung jawab (responsibility), Ketelitian (carefulness), Kerja sama (Cooperation), Toleransi (Tolerance), Percaya diri (Confidence), Keberanian (Bravery). Dengan bermain futsal siswa juga dididik untuk berfikir cepat dan kritis, pantang menyerah sampai menit terakhir, berlapang dada jika bermain hanya beberapa menit bahkan detik saja, selalu siap tidak bermalas-malasan karena serangan lawan selalu datang dengan cepat, tetap tenang dan control dalam kondisi sesulit apapun.
Nilai-nilai itu sangat dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi zaman saat ini yang serba cepat. Daya saing yang semakin tinggi menuntut semua orang untuk dapat berkerja keras dan memecahkan masalah dengan cepat. “Siapa cepat dia dapat”. Maka dari itu untuk membentuk manusia yang tangguh dan berdaya saing diperlukan pendidikan moral dan mental sejak dibangku sekolah, agar kelak siap menghadapi dunia kerja. Salah satu cara menerapakn nilai-nilai moral tersebut agar siswa  berkarakter kuat adalah melalui ekskul futsal.


Penulis adalah Guru Penjaskes SDN Sukamulya Kec. Bungursari Kota Tasikmalaya

Minggu, 16 April 2017

GURU BUKAN PEKERJA RODI



GURU BUKAN PEKERJA RODI
Oleh : Irvan Kristivan, M.Pd.

“Peningkatan kinerja guru”. Istilah itulah yang sedang gencar-gencarnya disosialisasikan kepada gurumelalui diklet, workshop, seminar, dan lain sebagainya. Perlu di garis bawahi kata "kinerja". Sepintas terdengar sangat "wah" dan baik dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Namun, jika ditelaah lebih dalam kata "kinerja" disana bisa menjadi kendala tidak tercapainya mutu pendidikan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kata Kinerja dapat diartikan sebagai “sesuatu yang dicapai; prestasi yang diperlihatkan; kemampuan kerja”. Dengan demikian peningkatan kinerja yang dimaksud dapat bermakna ambigu apakah peningkatan kinerja dalam arti peningkatan kinerja dalam arti peningkatan kualitas kerja guru (pencapaian dan prestasi) atau semakin bertambahnya beban kerja dan tugas kerja guru (kemampuan kerja).
Pertama. Jika peningkatan kinerja yang dimaksud adalah semakin bertambahnya beban kerja dan tugas kerja guru, sama dengan menjadikan guru sebagai "Pekerja Rodi". Dalam penjajahan Belanda warga Indonesia dipaksa untuk bekerja siang-malam tanpa adanya belas kasihan demi terlaksananya program pengurasan harta kekayaan Indonesia dengan membangun benteng-benteng dan jalan-jalan dengan upah yang sedikit. Para pekerja tersebut dikenal dengan istilah "Kerja Rodi". Hal itu memang tidak dipungkiri terjadi pada guru. Beban dan tugas guru semakin menumpuk, sementara gaji masih dibawah rata-rata pekerja lain. Apa lagi di SD yang notabene tidak ada staf tata usaha, guru harus merangkap sebagai bendahara dan mengerjakan LPJ BOS yang sedemikian rupa jelimetnya, juga merangkap sebagai operator yang tak henti-hentinya di cekoki dengan tugas meng-update data mulai dari padamu negeri, dapodik dan sekarang PUPNS yang dalam kenyataannya seringkali sistem error sehingga harus berulang-ulang bahkan sering kali sampai larut malam. Sudah barang tentu guru yang sudah terkuras habis tenaganya karena bergadang, tidak akan optimal dalam memberikan pelayanannya sebagai guru kepada peserta didik. Belum lagi dibebani dengan administrasi guru yang sebegitu banyaknya. Jika administrasi guru mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi Ada 10 item dan setiap item dikerjakan dengan waktu 15 menit maka 150 menit atau 2,5 jam tersita dari tugasnya mengajar. Sementara rata-rata guru mengajar setiap harinya 7-8 jam. Berarti waktu efektif di sekolah hanya 4,5 jam. Bagaimana kalau lebih banyak dari 10 item, tentu akan semakin banyak waktu tersita ketika pembelajaran. Maka tak heran jika ketika mengajar ada guru yang asyik mengerjakan administrasi guru sementaara peserta didik sibuk menulis atau mengerjakan tugas. Dalam waktu yang sedikit itu guru dituntut untuk dapat memberikan bimbingan, remedial, dan lain sebagainya guna meningkatkan prestasi peserta didik dan mutu pendidikan. Bahkan yang disekolahnya memiliki sedikit peserta didik hingga membuat guru kekurangan jam mengajar, dia harus memenuhi target 24 jam pelajaran dengan mengajar di sekolah lain. Apa mungkin dia bisa fokus meningkatkan kualitas pendidikan peserta didiknya jika pikirannya terbagi dua dengan peserta didik di sekolah lain ?.
Tidak hanya sampai disana. Untuk sekedar mandapatkan kesetaraan gaji dengan pekerja lain melalui tunjangan sertifikasi saja, sering kali tersendak baik karena administrasi yang tidak lengkap, data di dapodik yang tidak valid, bahkan karena tidak mengajar beberapa hari. Lebih ironis guru yang terkena musibah kecelakaan sehingga dia tidak bisa mengajar lebih dari 3 hari, maka dia tidak akan menerima tunjangan sertifikasi pada bulan tersebut. berarti guru tidak boleh izin apalagi sakit. Guru juga manusia bukan robot yang tidak pernah sakit.
Kedua. Jika peningkatan kinerja dalam arti peningkatan kualitas kerja guru, maka penekanannya adalah pada proses belajar mengajar (PBM). Bagaimana seorang guru mengajar dengan baik, menyenangkan, lugas, tegas, dan materi yang disampaikan mudah dipahami oleh peserta didik. Bagaimana pembelajaran itu lebih mudah terserap oleh peserta didik baik dari ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor agar peserta didik menjadi insan yang cerdas, terampil dan berakhlak mulia sesuai dengan amanat UU No. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS. Pendidikan yang bermutu yang benar-benar diharapkan akan tercapai jika "kualitas kerja" guru baik dan kualitas kerja guru akan semakin baik jika guru lebih fokus pada pencapaian tujuan pendidikan dan benar-benar berkompeten dalam bidangnya baik secara keilmuan, pengalaman, maupun secara real praktek dalam PBM.
Dengan demikian perlu adanya penekanan  yang lebih spesifik dalam istilah "peningkatan kinerja guru", yaitu pada "peningkatan kualitas kerja guru" bukan pada “peningkatan kuantitas kerja guru”; agar guru tidak dirugikan oleh pihak-pihak yang tidak paham betul dengan istilah tersebut. Juga perlu adanya main set yang sama antara guru, kepala sekolah, pengawas, dan pihak-pihak terkait bahwa yang paling penting dalam menanggapi kinerja guru adalah "kualitas kerja” bukan "kuantitas kerja”. Tentu saja kualitas kerja disana adalah kerja yang konsisten dan komitmen pada tupoksi sebagai guru profesional.

Terbit di HU Kabar Priangan, Rabu 3 Pebruari 2016 
 

Sabtu, 15 April 2017

INVITASI OLTRAD KOTA TASIKMALAYA 2017

INVITASI OLTRAD KOTA TASIKMALAYA 2017
Oleh : Irvan Kristivan, M.Pd.

Dadaha. Sabtu 15 April 2017 Dinas Pariwisata Pemuda Olahraga dan Kebudayaan (DISPARPORABUD) Kota Tasikmalaya telah menggelar invitasi olahraga tradisional (oltrad) tingkat sekolah dasar (SD). Kegiatan tersebut diikuti oleh lebih dari 230 peserta didik yang mewakili 10 Kecamatan. 

Cabang olahraga (cabor) tradisional yang diperlombakan adalah lima cabor yang telah dibakukan. Kelima cabor tersebut yaitu : dagongan, hadang, tarompah panjang, egrang, dan sumpitan. 

Dagongan, egrang, dan sumpitan hanya diikuti oleh peserta didik putra, sementara dua cabor lainnya tarompah panjang dan hadang diikuti oleh putri. Adapun jumlah peserta tiap cabor berbeda. Dagongan 5 orang putra pemain inti dan 2 cadangan, egrang 3 orang, sumpitan 3 orang, tarompah panjang 3 orang, dan hadang 5 orang putri pemain inti dan 2 cadangan.

Kegiatan oltrad ini adalah agenda tahunan Disparporabud. Selain untuk melestariksn budaya daerah, invitasi oltrad ini juga bertujuan untuk mencari bibit-bibit atlet untuk diikutsertakan dalam kegiatan invitasi oltrad tingkat Jawa Barat pada bulan Juli mendatang. "Invitasi oltrad ini juga sebagai ajang silaturahmi" ungkap Asep Sunarlan Kasi Pemuda dan Olahraga.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, invitasi oltrad tahun ini bertambah satu cabor yaitu sumpitan. "Sebelumnya saya sempat ragu untuk menggelar sumpitan karena kurangnya sosialisasi. Namun, setelah melihat kegiatan tadi saya sangat bangga ternyata hampir tiap Kecamatan sudah memiliki sumpit. Rupanya hasil pelatihan di Dinas Olahraga dan Pemuda (DISORDA) Jawa Barat yang diiikuti oleh guru olahraga/penjas telah disosialisasikan dengan cepat" tambah Asep.

Asep mengakui dengan adanya Ikatan Guru Olahraga (IGORA) informasi tentang keolahragaan lebih cepat menyebar. Pihak Disparporabud tidak perlu bersusah payah mengagendakan karena setiap ranting IGORA sudah punya agenda masing-masing dan cara masing-masing untuk mensosialisasikannya. "Alhamdulillah juga untuk tahun ini kegiatan invitasi oltrad terbantu dengan adanya tenaga Sarjana Penggerak Pendamping Pembangunan Olahraga (SP3OR) yaitu : sdr. Evi Supriatna, S.Pd. dan Irfan"

Kegiatan invitasi oltrad yang diselenggarakan hanya satu hari itu berjalan dengan lancar. Pada akhir kegiatan sekitar pukul 13.00 WIB hasilnya sudah dapat diumumkan juara-juaranya. Juara umum diraih oleh UPT Dinas Pendidikan Wilayah Tengah.

Sri Murdiani, M.Pd. dan Jajang Nurhayat, S.Pd. salah satu guru pendamping dari Kecamatan Bungursari dan Cihideung mengaku sangat antusias terhadap kegiatan invitasi oltrad ini. "mengingatkan permainan waktu masih kecil" ujar Sri. "kalau bisa kegiatan invitasi oltrad ini diselenggarakan juga dalam hari jadi Kota Tasikmalaya atau dalam kegiatan budaya lainnya " tambah Jajang.

Semoga dengan hasil invitasi yang sekaligus seleksi ini dapat membawa Kota Tasikmalaya menjadi juara dalam Invitasi Oltrad Jawa Barat. Amiin.

Foto-foto kegiatan Invitasi Oltrad Kota Tasikmalaya 2017





Jumat, 14 April 2017

MILO FOOTBALL CHAMPIONSHIP: GAIRAH BARU SEPAK BOLA KOTA TASIKMALAYA

MILO FOOTBALL CHAMPIONSHIP: GAIRAH BARU SEPAK BOLA KOTA TASIKMALAYA
Oleh : Irvan Kristivan, M.Pd.

Sepak bola khususnya di Kota Tasikmalaya sudah mulai redup. Sepak bola yang menjadi paforite setiap kaum "adam" ini justru mulai ditinggalkan. Gengsi sepakbola yang mendunia tak berpengaruh secara signifikan di Kota Tasikmalaya terutama di kalangan pelajar. Ada banyak hal yang mempengaruhi hal tersebut, diantaranya :
Pertama, semakin menyebarnya lapangan futsal. Hampir tiap Kecamatan di Kota Tasikmalaya terdapat lapangan futsal, ada yang 2 sampai 5 buah lapang futsal di tiap Kecamatan. Sementara lapang sepak bola masih bisa dihitung dengan jari. Bahkan dari kualitas lapang pun semakin maju, mulai dari lapang pelur, beralih ke rumput sintetis, lalu ke vinyl, dan kini interlock lebih diminati.

kedua, kompetisi futsal jauh lebih banyak ketimbang sepakbola. Hampir setiap bulannya selalu ada kompetisi, baik antar pelajar, mahasiswa, maupun umum. Berbeda dengan sepak bola yang satu tahun sekali pun tidak.Pertandingan sepak bola tidak tentu agendanya.

Ketiga, futsal indoor sementara sepakbola outdoor. Tidak sedikit orang tua yang melarang anaknya bermain sepak bola karena takut anaknya jadi hitam kepanasan atah jatuh sakit karena kotor-kotoran di lapang yang becek saat musim hujan. Sementara di lapang futsal bisa bebas tidak dibatasi musim kemarau atau musim hujan. Anak bisa bebas bermain kapanpun.

Ketiga hal itulah yang menjadikan futsal lebih diminati. Hal itu terlihat dalam pelaksanaan O2SN tingkat Kota Tasikmalaya. Sejak beberapa tahun ke belakang, jumlah peserta O2SN futsal SMP/SMA lebih banyak daripada sepak bola.

Pada tanggal 19 Maret 2017, telah digelar Milo Football Championship (MFC) di lapang sepak bola Brigif 13 Galuh. Sebanyak 32 tim sepak bola Sekolah Dasar (SD) se-priangan timur ikut serta dalam kegiatan tersebut. Mereka sangat antusias mengikutinya. Memang kompetisi sepak bola antar SD ini sangat jarang digelar. Biasanya Event Organizer (EO) pertandingan lebih memilih menggelar pertandinngan antar Sekolah Sepak Bola (SSB) yang sudah jelas peserta dan pembinaannya ketimbang antar SD yang masih meengandalkan kegiatan ekskul.

Kegiatan MFC ini menjadi gairah baru bagi sepak bola di Kota Tasikmalaya. Tidak sedikit orang tua yang sudah kembali menitipkan anak-anaknya ke SSB atau mengikuti ekskul sepak bola. Anak-anak usia SD pun kembali tergiur dengan yuporia sepak bola. "Senang sekali ikut MFC, ya walaupun belum bisa lolos 4 besar. Semoga tahun depan ada lagi" tutur M.Nauval siswa SDN Sukamulya salah satu peserta MFC. Meskipun masih belum se-"gila" futsal namun setidaknya geliat sepak bola sudah mulai terlihat kembali. Mungkin saja jika terus di chas dengan pertandingan yang serupa dan berjenjang, sepak bola di Kota Tasikmalaya akan lebih maju.

Pertandingan MFC ini membuktikan bahwa kompetisi sepak bola antar SD pun masih bisa sukses. Ketakutan tidak adanya peserta rupanya hanya sugesti saja. 4 besar MFC wilayah priangan timur melaju ke tingkat Jabar pada tanggal 25 Maret yang lalu di Stadion Siliwangi Bandung. Keempat SD perwakilan priangan timur tersebut adalah : 1) SD Amuttaqin, 2) SDN Sindanggalih, 3) SDN 3 Rajapolah, dan 4) SD Cisempur.

Setelah melalui proses seleksi, para pemain terbaik akan terpilih mengikuti Milo Football Camp di Jakarta. Selanjutnya 5 pemain terbaik akan diterbangkan ke Spanyol untuk berlatih bersama FC Barcelona.

Semoga sepak bola Indonesia khususnya Kota Tasikmalaya bisa mendapatkan "Ruh-nya" kembali.

Rabu, 12 April 2017

MEMAHAMI “BAHASA” ANAK



MEMAHAMI “BAHASA” ANAK
Oleh : Irvan Kristivan, M.Pd.

Membiasakan anak agar gemar menulis bukanlah hal mudah. Guru harus butul-betul memahami “bahasa” anak. Bahasa anak dalam arti bahasa yang dipakai dan dipahami anak sesuai dengan dunianya. Terkadang anak mengungkapkan sesuatu yang tidak lazim dikatakan orang dewasa, namun maksud dan tujuannya dapat dimengerti. Beberapa hal yang perlu dipahami guru terkait dengan kemampuan “bahasa” anak dalam menulis, diantaranya:
Pertama, Perbendaharaan kata masih minim. Anak masih kesulitan ketika akan menuangkan apa yang ada dipikirannya dalam bentuk tulisan. Pada dasarnya anak sudah memiliki konsep tersendiri dalam memory otaknya meskipun masih belum kompleks. Namun, ketika hendak diungkapkan dalam bentuk kata-kata, anak lebih memilih menggunakan kata yang singkat tetapi maksud dan tujuannya dapat tersampaikan. Anak belum mampu mengembangkan kata-kata dan mengembangkan cerita. Sehingga tidak heran jiga ketika diberi tugas bercerita anak lebih memilih membuat cerita yang sangat singkat dan pendek. Bahkan dari segi ceritanya pun cenderung masih sekitar satu atau dua peristiwa yang dianggap paling penting, menyenangkan, atau yang pernah dialaminya sendiri.
Kedua, Penggunaan kata masih tercampur dengan bahasa daerahnya. Bahasa daerah sangat kental dengan kehidupan anak sehingga dalam setiap tulisan anak selalu ada satu atau dua yang menyisipkan bahasa daerah. Hal itu karena anak belum mampu men-translate secara baik bahasa daerah yang dimaksud ke dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Seperti yang pernah saya temukan dikelas IV ada anak yang menulis “Kemudian saya dan teman-teman mengbal di lapangan”. Kata “mengbal” seharusnya “bermain bola”, namun karena anak kental dengan daerahnya yaitu Sunda makan kata “mengbal”-lah yang anak tuangkan dalam tulisannya.
Ketiga, Pengalaman anak masih dangkal. Cenderung yang mereka tulis tidak jauh dari apa yang berada di sekitar mereka. Tidak heran jika ditemukan tulisan beberapa anak yang cenderung sama. Misalnya ketika disuruh untuk menulis pengalaman liburan sekolah guru seringkali menemukan lebih dari dari dua anak yang menulis judul “Berkunjung ke rumah nenek”. Atau bahkan ketika anak diberi tugas membuat puisi pasti guru akan menemukan banyak puisi dengan judul “IBU”.
Keempat, Bahasa anak adalah JUJUR. Apa yang mereka lihat, mereka dengar, mereka rasakan adalah apa yang mereka tulis. Anak belum bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Anak belum bisa memakai gaya bahasa atau majas. Cenderung kata-katanya datar, seadanya, tanpa ada perumpamaan atau bahkan kata-kata yang ambigu.
Setelah memahami “bahasa” anak gurupun perlu memperhatikan hal-hal yang dibutuhkan anak ketika dia menulis, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Semua karya anak harus dihargai. Sekecil apapun karya anak adalah produk dari pemikiran anak yang patut dihargai. Bentuk penghargaan itu bisa berupa tepuk tangan, sanjungan, atau bahkan mengakui bahwa itu adalah karya anak. Sekecil apa pun pengahargaan yang diberikan oleh guru terhadap karyanya akan memberikan motivasi yang paling besar terhadap anak.
Kedua, Meluruskan bukan menyalahkan. Dalam hal membetulkan kesalahan anak harus hati-hati. Penggunaan bahasa dan cara menyampaikan harus dengan tepat. Jangan sekali-kali guru menyalahkan karya tulis anak, justru guru harus meluruskan setiap kesalahan dengan cara yang halus bahkan tanpa disadari anak tulisannya telah dikoreksi.
Ketiga, Memberikan stimulan. Mengingat pembendaharaan kata dan pengalaman anak yang masih minim, maka perlu adanya stimulan dari gurunya. Stimulan yang dimaksud bukan hanya sekedar motivasi, namun lebih kepada memancing anak untuk menulis atau lebih kepada mengarahkan anak menulis diluar kebiasaanya. Contoh: menghindari kata saya, menghindari tema ibu, ayah, guru, berlibur ke rumah nenek, atau bisa juga dengan memberikan tugas dengan tema-tema yang menarik tetapi sangat dekat dengan kehidupan anak seperti: sarapan, menonton TV, mandi, belajar, kebersihan, dsb.
Dengan memperhatikan “bahasa” anak dan hal-hal yang dibutuhkan anak ketika menulis, maka anak akan dengan senang hati menulis, kemudian menjadi terbiasa menulis, dan pada akhinya menjadi hobi. Jika sesuatu sudah menjadi hobi, maka seberat apapun akan terasa ringan dan akan dilakukan dengan penuh keikhlasan dan berkesinambungan tanpa tahu batas waktu kapan akan berakhir. Yang pasti anak akan mampu menghasilkan produk sebagai karyanya sendiri.


Penulis adalah anggota Forum GUMEULIS, Guru Penjaskes SDN Sukamulya UPT Dinas Pendidikan Wilayah Barat Kota Tasikmalaya.



 Terbit di HU. Kabar Priangan,  Kamis, 14 April 2016

SGFA : BERLATIH BERSAMA COACH BONGSU HASIBUAN

SGFA : BERLATIH BERSAMA COACH BONGSU HASIBUAN FUTSAL adalah cabang olahraga yang menjadi trend remaja masa kini. Pelajar SD, SMP, SMA, Hin...